Iwet yang juga berprofesi sebagai entertainer melihat batik sebagai salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan. Ia melihat ketika batik kembali diminati, ada beberapa pihak dari negara lain yang mengklaim miliknya dan orang Indonesia pun marah. Nasionalisme ini justru disayangkan olehnya, mengingat jika ditanyakan tentang batik, sedikit sekali yang mengerti.
"Orang Indonesia marah kalau batik diambil negara tetangga tapi kalau ditanya, nggak ngerti apa-apa tentang batik. Nggak ada edukasinya," ujarnya menyesalkan. Ia juga melihat banyak peragaan catwalk dunia yang menampilkan batik namun batik tersebut hanya sebatas print/cetak, bukan batik asli yang dibuat dengan canting dan malam oleh pengrajin.
Agar generasi muda lebih familiar dengan batik dan memakainya, ia mengemas produknya menjadi produk yang lebih kasual seperti kaus. Baik dalam sablon, stilasi hingga aplikasi, semua desain dibuat semenarik mungkin agar anak muda tidak merasa 'tua' memakainya.
Ia mengaku bahwa dirinya bukan desainer, karena perihal pecah pola tak ia geluti. Alhasil untuk materi dasar kemeja dan kaos, ia menggunakan jasa vendor. "Aku sket gambar, vendor yang ngerjain, jadi bisa konsentrasi motif mau diterapin jadi apa," jelasnya.
Dirinya pun kerap mengunjungi berbagai daerah di nusantara untuk memperkaya pengetahuannya tentang batik. Dengan tujuan mengembangkan industri batik, ia berprinsip tidak mau menawar harga yang diberikan pengrajin karena paham proses membatik itu rumit. Itulah sebabnya produknya selalu terbatas tiga ukuran saja; S, M, L dan dalam sebulan hanya menghasilkan kurang lebih 100 potong.
"Generasi muda semakin tinggi jumlahnya yang pakai batik. Hal ini bisa support UKM dan pengrajin jadi mereka tetap bekerja. Kalau nggak ada yang mau membatik, lama-lama batik bisa mati, dan anak-anak pengrajin akan milih kerja di pabrik jeans," ujarnya prihatin. Itulah sebabnya selain berbisnis, ia tak ragu menggelar kelas membatik hingga membagi pengetahuannya.
Sumber:redaksi[at]wolipop.com
0 komentar:
Posting Komentar